
Hari pemilihan umum sebentar lagi tiba. Panitia penyelenggara pemilihan umum bingung, stok kertas negara habis. Lantas, ketua pantia segera memerintahkan anggotanya untuk mencari pohon sebagai bahan baku pembuatan kertas ke seluruh penjuru negeri. Maka, bergeraklah anggota-anggota itu mencari pohon tersebut. Mereka tidak menemukan sebatang pohon pun karena sudah habis ditebangi dan menyisakan lahan kering yang luas. Para anggota kembali dan melapor pada ketua panitia.
“Apa-apaan kalian ini, mencari pohon saja tak bisa,” bentak ketua panitia.
“Maaf pak, pohon dan hutan habis semua,” jawab anggota.
“Saya tak mau tahu, pokoknya kalian harus menemukan pohon-pohon itu!” perintah ketua.
“Baik, pak.”
Seorang anggota akhirnya menemukan seorang informan dari sebuah desa di pelosok negeri yang tak tejangkau oleh pemerintah, baik dalam hal pembangunan infrastruktur, kesejahteraan dan kesehatan. Informan ini menjual informasi tentang keberadaan hutan dan pohon yang masih tersisa di desa itu. Tanpa menghabiskan banyak waktu, para anggota segera menyiapkan alat berat, dokumen-dokumen dan segala keperluan. Setelah selesai semua persiapan, mereka segera meluncur ke desa tersebut.
Mereka benar-benar takjub dengan suasana desa yang masih sangat alami. Langit biru terbentang luas di cakrawala, pegunungan hijau mengelilingi lembah yang subur. Sekumpulan sapi dan domba sedang digembalakan di kaki bukit, beberapa kelompok orang terlihat membajak tanah dengan peralatan yang masih tradisional. Pohon-pohon berderet sepanjang sungai, daunnya yang rimbun bercahaya seperti logam tertimpa sinar matahari yang terang. Udara sejuk terasa segar. Suasana terasa damai dan tenang.
Vegetasi alam hutan itu masih terjaga dengan baik. Bebagai jenis pohon dapat ditemui seperti; jati, pinus, kerangas, meranti dan lainnya terhampar di hadapan. Pohon-pohon di hutan itu berusia tua, jika dilihat dari batang pohonnya yang memiliki diameter cukup besar. Mereka tumbuh memanjang ke atas dengan dedaunan yang rimbun dan menyegarkan. Suara beberapa satwa liar seperti kera masih nyaring terdengar.
Para anggota segera mengatur dan mempersiapkan segala keperluan mereka. Mereka mendirikan tenda-tenda di lahan kosong hutan itu dan menyiapkan peralatan penebangan dan alat beratnya. Selain itu, mereka membawa polisi juga untuk mengawal kegiatan ini. Setelah gergaji mesin dan semua alat berat telah diisi bahan bakar, segera mereka akan melakukan penebangan. Tiba-tiba warga desa yang mendengar keributan ini segera keluar dan menghadang mereka.
“Apa yang akan kalian lakukan?” kata salah seorang warga.
“Tenang, kami akan melakukan penebangan pohon di hutan ini. Kami sudah mengantongi izin dari pemerintah pusat,” salah seorang petugas memberi penjelasan.
“Ini tanah kami, pohon kami, jangan berlaku seenaknya sendiri,” bantah warga.
“Kalian akan dapat ganti rugi atas pohon-pohon ini.”
“Ini adalah sumber kehidupan kami, jangan kalian berlaku macam-macam,” ancam warga.
“Minggir, jangan suka mencampuri urusan kami,” seru petugas itu. Petugas itu memberi perintah kepada polisi untuk menyingkirkan dan mengamankan warga yang sudah mulai mengamuk.
Warga desa yang lemah dan tak bisa apa-apa hanya bisa menyaksikan pohon-pohon itu ditebangi. Pohon-pohon itu dirobohkan sampai ke akar-akarnya, ditebang satu persatu-satu sampai hutan itu habis tak menyisakkan satu pohon pun. Banyak satwa yang melarikan diri dan ada juga yang dibunuh secara kejam. Semua pohon akhirnya selesai ditebang kecuali satu pohon keramat yang terletak di jantung desa tersebut. Seorang anggota berniat akan menebang pohon itu tapi mengetahui pohon keramat, dia menelepon ketua panitia terlebih dahulu.
“Halo pak, semua pohon sudah habis ditebang,” kata petugas.
“Kerja bagus,” jawab ketua dengan puas.
“Tapi masih ada satu pohon pak, pohon ini..” kalimatnya belum selesai tetapi sudah dipotong.
“Saya tak mau tahu, pokoknya tebang semua pohon tanpa terkecuali,” perintah ketua.
Klik, suara telepon ditutup dari seberang. Setelah mendapat keyakinan si anggota memerintahkan untuk segera melakukan penebangan terhadap pohon keramat itu. Mereka tidak peduli dengan protes warga.Warga desa hanya bisa menangis dan berdoa menyaksikan satu-satunya pohon yang telah memberikan perlindungan dan berkah itu ditebang. Dalam hati, warga mengutuk perbuatan mereka yang seenaknya sendiri.
Batang-batang pohon dikumpulkan kemudian diangkut ke truk semi trailer. Mereka melanjutkan perjalanan menuju pabrik kertas. Di sana, batang-batang pohon dikupas kulitnya dan dipotong menjadi ukuran lebih kecil, kemudian dimasukkan ke dalam tangki raksasa yang disebut sebagai pencerna. Proses di tangki ini akan menghasilkan bubur kertas. Setelah keluar dari pencerna, bubur kertas dicampur dengan air dan dibentangkan di atas sebuah ayakan bergerak yang disebut kawat. Kemudian, terdapat gilingan-gilingan dan silinder yang dipanaskan dari dalam yang menekan bubur kertas ke kawat dan mengeluarkan air dari kertas tersebut. Penggulung akan mengumpulkan kertas menjadi gulungan raksasa. Kertas yang dihasilkan akan dipotong-potong dan dicetak menjadi surat suara. Namun ada keanehan pada salah satu pohon, kertas yang dihasilkan hanya cukup untuk mencetak satu lembar kertas suara saja. Para anggota yang mengetahui hal ini tak mempedulikan masalah tersebut, karena hari pemilu sudah semakin dekat.
Kertas-kertas itu kemudian dicetak menjadi surat suara, dimana ada dua foto pasangan bakal calon pemimpin tampak di atasnya. Pasangan urut nomor satu, mengambil latar belakang foto di depan sebuah hotel mewah dengan memakai kemeja dan peci berwarna putih. Semua serba putih bersih. Wajah mereka berseri-seri mengulas senyum yang menawan. Visi dan misi mereka ingin menjadikan negara ini banyak dikunjungi wisatawan mancanegara karena dapat menambah devisa negara. Pasangan urut nomor dua mengambil latar belakang foto di depan sebuah pabrik. Mereka mengenakan seragam ala buruh berwarna biru muda dengan sedikit kotoran di bagian pundaknya. Di kepalanya ada helm proyek berwarna kuning dan membawa kunci pas dan obeng. Mereka ingin menjadikan negara ini sebagai negara industri nomor satu di dunia. Tak lupa, mereka memasang senyum yang tak kalah indah dari pasangan urut nomor satu.
Akhirnya tibalah hari pemilihan itu, serentak di seluruh negara. Di setiap wilayah dibangun tempat pemungutan suara. Bilik-bilik dan kotak penyimpanan suara telah disiapkan. Tibalah saat itu seorang pemuda, yang baru saja memperoleh hak pilihnya pergi menuju ke tempat pemungutan suara yang tak jauh dari rumahnya. Pagi itu suasana belum begitu ramai. Dia menyerahkan surat undangan ke petugas lalu mengantri. Selama menunggu giliran, dia duduk di kursi panjang yang disediakan untuk para pemilih, nantinya petugas akan memanggil nama pemilih tersebut. Tak lama, petugas memanggil nama pemuda itu dan memberikan surat suara kepadanya.
“Baru pertama kali nyoblos ya?” tanya petugas itu.
“Iya pak,” pemuda itu mengangguk.
“Coblos berkali-kali boleh, tetapi jika menyoblos di luar frame foto tidak sah, boleh mencoblos di nomor, tetapi lebih baik coblos di gambarnya saja biar memudahkan panitia saat perhitungan nanti,” kata petugas menasehati.
“Baik pak.”
Pemuda itu kemudian membuka lembar surat suara di hadapan petugas guna menghindari surat suara yang rusak atau sudah tercoblos. Namun ada perasaan aneh ketika ia membuka lembaran surat itu, mungkin perasaannya gugup karena baru pertama kali dirinya melakukan pemilihan.
Setelah memperoleh surat suara, dia menuju ke bilik untuk melakukan penyoblosan. Dia membuka surat suara itu, ada hal aneh yang terjadi. Tiba-tiba layar kertas itu menampilkan adegan yang mengerikan. Kekacuan terjadi dimana-mana. Banjir, tanah longsor, gempa bumi dan gunung meletus memakan korban ribuan jiwa. Wabah penyakit malaria, demam berdarah, flu burung menjangkit di berbagai wilayah. Pejabat-pejabat saling tertawa dan berpesta pora di atas punggung rakyatnya. Pembunuhan dan penjarahan merajalela. Keadilan dirobohkan kebohongan ditegakkan. Pemuda itu ketakutan menyaksikan peristiwa ini. Akhirnya dia mencoblos semua wajah calon pemimpin itu. Pasangan urut nomor satu, dia coblos tepat di mata dan jantung. Pasangan nomer urut dua, dia coblos di bagian perut sebelah kanan dan hidungnya. Pemuda itu dengan tergesa-gesa melipat surat suara dan memasukannya ke kotak suara kemudian berlari ketakutan pulang ke rumah tanpa mencelupkan jarinya ke tinta biru. Para petugas kelihatan bingung menyaksikan peristiwa ini. Di waktu yang sama di lain tempat, ada kejadian yang menggemparkan. Seluruh pasangan calon pemimpin itu semuanya tewas dengan kondisi seperti surat suara yang dicoblos si pemuda tadi.
SELESAI